Hampir 50% Warga Percaya Disinformasi Pemilu 2024
Semakin mendekatnya pemilihan umum (pemilu) yang akan digelar Rabu, 14 Februari 2024, lini masa media sosial kian dibanjiri narasi politik dari para baccarat casino online kandidat. Informasi politik yang ada di layar gawai melalui media sosial bisa memuat misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Pemilik hak suara juga semakin rentan terhadap gangguan informasi dan percaya pada informasi yang salah. Hal ini terungkap dalam Survei Opini Publik: Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024.
Arya Fernandes, Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan bahwa hampir separuh responden yang diteliti oleh CSIS dan Safer Internet Lab (SAIL) masih percaya pada informasi salah, utamanya menyangkut Pemilu 2024.
“42,3% responden percaya pada gangguan informasi pemilu,” terang Arya saat pemaparan Rilis Survei Opini Publik: Proyeksi dan Mitigasi Gangguan Informasi Pemilu 2024, di Jakarta.
CSIS dan SAIL melakukan survei mulai 4 September sampai 10 September 2023 dengan sampel sebanyak 1.320 responden yang tersebar di 34 provinsi, dengan tingkat margin of error sebesar kurang lebih 2,7%, pada tingkat kepercayaan 95%.
Peneliti menguji informasi salah yang sudah terverifikasi sebagai berita salah atau palsu oleh Koalisi CekFakta. Informasi ini kerap dipaparkan secara berulang atau mempunyai pola yang jelas.
Arya pun membeberkan beberapa fakta salah yang ditanyakan kepada responden, seperti adanya pengelabuan jumlah pemilih, anggota KPU tidak netral, surat suara yang sudah dicoblos, pencurian surat suara, KTP palsu dalam pemilu, TKA Cina sebagai pemilih, hingga Pemilu 2024 ditunda.
Arya juga mengatakan bahwa dari hasil survei, penggunaan internet diduga meningkatkan paparan seseorang terhadap informasi sehingga mengalami keberlimpahan informasi. Hal ini memberi peluang lebih kepada seseorang untuk terpapar dan percaya akan gangguan informasi.
Tingginya tingkat kepercayaan terhadap misinformasi bisa berdampak buruk kepada demokrasi dan pemilu. “Mengurangi kepercayaan publik terhadap KPU dan Bawaslu. Mengurangi dukungan publik pada demokrasi,” ujar Arya.
Pada kesempatan yang sama, Putri Alam, Direktur Hubungan Pemerintah dan Kebijakan Publik Google Indonesia, mengatakan bahwa sekitar 50 juta penduduk Indonesia terpapar literasi digital. Proses edukasi digital kepada publik memang telah rutin diselenggarakan, baik oleh pihak platform maupun pemerintah, untuk membekali warga sebelum berseluncur di dunia maya.