Kematian Siswa di Blitar dan Deli Serdang Memperkuat ‘Fenomena Gunung Es’
Kematian dua siswa di Blitar dan Deli Serdang yang melibatkan guru agama atau pengelola lembaga keagamaan dalam click here sebulan terakhir semakin menegaskan adanya fenomena yang disebut “gunung es” oleh para pengamat. Kasus-kasus seperti ini mungkin dipicu oleh “mental feodal” dan anggapan bahwa semua tindakan dilakukan “atas nama Tuhan.”
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah menerima 329 laporan pengaduan terkait kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang tahun 2023, termasuk yang berhubungan dengan perundungan, serta kekerasan seksual, fisik, dan psikis.
Dari Januari sampai 28 September 2024, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat 36 kasus kekerasan “kategori berat” di berbagai lembaga pendidikan—termasuk yang berkaitan dengan kekerasan fisik, seksual, dan psikis, serta kebijakan yang bersifat kekerasan.
Dari 36 kasus tersebut, terdapat 48 pelaku dan 144 anak yang menjadi korban. Tujuh di antaranya dilaporkan telah meninggal dunia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, menyatakan bahwa tingginya angka kekerasan anak di sekolah disebabkan karena guru masih “memegang teguh model mental feodal,” sehingga hubungan antara guru dan siswa tampak seperti atasan dan bawahan.
“Seolah-olah atasan dapat bertindak sewenang-wenang dan menghukum siswa dengan cara apapun,” ungkap Ubaid.
“Sebagai bawahan, siswa dipandang wajib untuk taat, patuh, dan mengikuti perintah.”
Situasi semakin rumit ketika membahas kasus kekerasan yang dilakukan oleh guru-guru agama terhadap siswanya, seperti yang disampaikan Alissa Wahid, Ketua Bidang Kesejahteraan Rakyat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).
“Ketika semua sesuatu dilakukan atas nama agama atau Tuhan, orang-orang cenderung merasa bahwa mereka lebih benar,” kata Alissa.
“Saya memperjuangkan kesucian agama, dan siapa pun yang menolak melakukan ini dianggap menistakan agama. Logika menjadi seperti itu.”
“Tidak mungkin ustaz sengaja membunuh cucu saya”
Suparti telah merawat M. Keisa Anwar Alfairus sejak kecil.
Saat Keisa berada di tingkat PAUD, orang tua Keisa bercerai. Sang ibu merantau ke Taiwan untuk bekerja, sementara ayahnya mencoba peruntungannya di Malaysia.
Ketika Keisa berada di pertengahan sekolah dasar, Suparti berdiskusi dengan anggota keluarga lainnya mengenai rencana untuk memasukkan cucunya ke pondok pesantren.
“Kalau di rumah hanya berbaring. Jika disuruh makan juga sulit,” kata Suparti, yang tinggal di Blitar, Jawa Timur, kepada wartawan Asip Agus Hasani yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Keluarga akhirnya sepakat untuk mendaftarkan Keisa ke Madrasah Ibtidaiyah (MI) Plus Al Mahmud. Sekolah ini setara dengan SD dan memiliki asrama seperti pondok pesantren.
Menurut Suparti, Keisa mulai “mondok” sejak kelas 5 MI.
“[Dengan mondok,] saya berharap ketika dewasa dia dapat mengetahui mana jalur yang baik dan mana yang tidak. Dia bisa mendoakan masa depan orang tuanya,” kata Suparti.
“Doa sedikit-sedikit pasti bisa jika di pondok. Kalau di rumah ya sulit.”
Keisa tampaknya dapat dengan cepat beradaptasi dengan kehidupan di pondok. Dia memiliki banyak teman, kata Suparti, dan aktif mengikuti kompetisi futsal mewakili madrasahnya di berbagai daerah.