Korupsi Tak Kenal Usia, Masih Layak Jual Isu Pemimpin Muda?
Di masa awal reformasi, ramai bergaung keinginan agar bangsa ini dipimpin oleh pemimpin muda dan ‘segar’. Saat itu, Indonesia tengah ‘gerah-gerahnya’ menghadapi situasi politik yang dikuasai oleh segelintir orang dan para kerabatnya. Generasi muda pun diharapkan bisa membawa roulette angin segar dalam menjalankan pemerintahan yang kreatif, jujur, transparan, dan bebas korupsi.
Memang, peran generasi muda dalam kemajuan Indonesia sudah tidak lagi diragukan. Sebut saja Sumpah Pemuda pada 1928 yang, tentu saja, digagas oleh pemuda. Lalu ada pula peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945, saat para pemuda menculik Soekarno dan Mohammad Hatta dan mendesak mereka untuk segera mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Reformasi 1998 pun awalnya digagas oleh sekelompok pemuda di kampus-kampus.
Kembali ke masa sekarang, seperti diketahui, pemilih muda dari kalangan Gen Z dan milenial akan mendominasi pada pemilihan umum (Pemilu) 2024. Mungkin karena itulah, isu pemimpin muda masih terus dijual, digadang sebagai sesuatu yang ‘heroik’ dan mampu membawa perubahan. Tapi perubahan ke arah mana? Layakkah jualan ini dibeli?
Dalam perbincangan dengan DW Indonesia, Wawan Heru Suyatmiko, Wakil Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia mengatakan agak sulit berharap transparansi dari pemimpin muda yang tidak lahir secara organik.
“Pemimpin mudanya tidak lahir secara organik, tapi secara dinasti. Anda sebutkan siapa yang pemimpin muda yang tidak lahir dari dinasti politik? Agak sulit sekali mencari itu,” ujar Wawan Heru Suyatmiko.
Narasi pemimpin muda dalam politik, masih layak?
Usia tidak pernah menjadi jaminan bahwa seseorang akan bertindak jujur, transparan, dan bebas korupsi, atau sebaliknya. Dalam waktu beberapa tahun terakhir, sejumlah kepala daerah dan politisi muda juga telah divonis pengadilan akibat kasus korupsi, bahkan saat usia mereka belum 45 tahun. Beberapa dari mereka juga diketahui berasal dari keluarga yang dekat dengan lingkaran kekuasaan.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti mengungkapkan bahwa perkara korupsi tidak ada hubungannya dengan usia.
“Narasinya salah. Selalu bicara soal umur tua dan muda karena persoalannya bukan di umur,” kata Bivitri kepada DW Indonesia saat ditemui di sela acara Indonesia Integrity Forum 2023 di Jakarta. “Tapi kapasitas politik dan integritas dia, rekam jejaknya bagaimana,” ujar Bivitri yang juga aktif di Transparency International Indonesia.
Bivitri juga mengungkapkan, berkutat hanya soal isu tua dan muda tidak akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, saat ini analisis korupsi saja tidak ada yang bisa mensegregasi implikasi antara perilaku yang tua dan muda. Menurutnya, narasi usia tua dan muda saat ini semata-mata digunakan sebagai cara untuk menggaet pemilih muda.
“Banyak anak muda bisa berhasil karena mereka punya privilese. Ini yang tidak pernah dihitung, karena dianggap sebagai hadiah atau status. Indonesia ini masyarakatnya feodal, jadi semuanya ini keberuntungan, tapi ini jadi mengaburkan fakta, mengecoh anak muda, memberikan harapan palsu bahwa anak muda bisa maju. Padahal di sistem masyarakat sekarang ini, kalau tidak punya privilese tidak bisa maju. Makanya, kita harus ubah sistem.”
Baru-baru ini, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang mengatur batas usia minimum untuk menjadi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). MK memutuskan bahwa batas usia minimal capres dan cawapres 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Putusan ini dinilai banyak pakar telah memungkinkan salah satu anak Presiden Joko Widodo untuk maju sebagai bakal cawapres di Pemilu 2024.
Wasisto Jati, Peneliti Politik dari BRIN, mengakui bahwa putusan MK menjelang hari registrasi mengejutkan semua pihak, karena baik itu administrasi maupun regulasi dari KPU terkait persyaratan sudah selesai.
“Memang di sini kesannya yang kita lihat sangat elitis, dan sangat tidak akomodatif terhadap suara publik. Jadi secara keseluruhan ini memang membuat demokrasi kita makin mundur ya, karena komitmen terhadap tahapan pemilu, komitmen terhadap suara publik, itu justru tereduksi dengan adanya putusan cepat ini, yang ujungnya adalah mengakomodasi pihak tertentu untuk bisa melenggang di pilpres mendatang,” ujarnya.
Putusan yang disayangkan banyak pihak ini keluar di tengah maraknya diskursus tentang dinasti politik yang dikhawatirkan memundurkan demokrasi dan rentan konflik kepentingan.